Dua Tahun yang Lalu
Kangeen banget gak pernah main ke blog sendiri.
Gue gak mau janjiin posting apa-apa lah ya. Review bukunya gue undur entah kapan. Lebay, tapi mungkin gue lebih memilih untuk mencurahkan pemikiran-pemikiran gak penting gue ini aja di blog.
Kali ini gue ganti lagi judul blog dan alamat blog. Anggap aja berkali-kali perubahan ini sebagai perjalanan cara pikir gue atau perjalanan pendewasaan gue. alamat link jadi pake nama sendiri, terus judulnya ya gak terlalu menggelikan kayak sebelumnya. Ini aja gue gak berani untuk ngetik lagi alamat blog dan judul terdahulu. Malu.
Hampir setahun gue gak buka-buka blog. Entah kemakan aktivitas kuliah atau emang guenya yang selalu menggunakan kata "unmood" sebagai tameng untuk gak nulis di blog.
Gue masih inget hal yang mau gue ceritain di blog ini. Ini kejadiannya sekitar 2 tahun yang lalu.
![]() |
Pantai Laguna (Rawa) Source: Mbah Gugel |
Mama gue berasal dari Kebumen daerah dekat Pantai Selatan, dimana daerah itu cukup terkenal sama premanismenya. Singkat cerita pas gue lagi lebaran disana gue diajak sama sepupu gue untuk main ke Pantai Laguna--lebih dikenal Rawa karena pantai yang bersebelahan dengan ujung sungai--bareng temen-temennya. Pas kumpul, gue rada kaget karena perawakannya preman banget. Gue udah berpikir kalau sepupu gue salah ngajak gue di perkumpulan temen-temen dia yang ini.
Pas sampai di laguna, ternyata kita gak disuruh bayar. Masuk aja. Gue sempet mikir "Wah the power of premanisme nih". Sampai di dalem mereka bikin lingkaran dan ada satu orang yang mungkin ketuanya itu memberikan kata sambutan dan dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. "Widih kece juga pake sambutan dan nyanyi lagu wajib nasional".
Gue mulai bingung setelah salah satu dari mereka ada yang bagi-bagiin plastik sampah warna hitam besar ke tiap-tiap orang. Ritual nih? Pikir gue. Ternyata eh ternyata mereka itu punya misi untuk membersihkan sampah yang sembarangan dibuang pengunjung. Mereka berpikir ini adalah daerah mereka dan mereka gak mau kalau kekayaan alam mereka itu rusak dan jelek hanya karena pihak swastanya hanya ambil keuntungan dan remaja daerah sana juga egois karena merasa gak kebagian keuntungan dari hasil penjualan tiket masuk.
Menyebalkannya adalah, sepupu gue kedapetan dikerjain pengunjung karena dikiranya mereka bersihin sampah itu dibayar sama pihak pengelola. Padahal enggak sama sekali. Jadi ceritanya ada beberapa remaja yang makan cilok pake saus di pasir pantai, pas sepupu gue lewat dia malah ngebuang plastik berisikan saus ke pasir deket sepupu gue. Belum sempet sepupu gue ngomong, eh udah didahului sama si remaja kamper itu sambil bilang, "Tuh mas sampah saya, saya kan juga bayar disini". Udah gak sehat kali ya tuh orang, bayar 3ribu aja laganya kayak yang punya pantai. Sayangnya gue gak bareng sama sepupu gue si, kalau bareng dan gue lihat kejadian itu, udah gue ajak adu congklak. Kzl.
Setelah pulang dari kegiatan itu gue mikir, kenapa bisa-bisanya gue berpikiran negatif sama mereka. Kenapa gue harus melihat penampilan orang dulu, mentang-mentang petantang-petenteng bukan berarti gue bisa menilai kalau mereka ini bukan orang baik. Mulai dari hari itu gue dapat pelajaran berharga, bahwa jangan pernah sekali-kali melihat orang dari penampilannya saja. Mereka jaaauh lebih baik dari gue yang bahkan kalau gue jadi remaja sana mungkin gak akan sampai se-aware itu.
Kejadian ini selalu kerekam dan muter kapan aja disaat gue butuhkan. Sebelumnya gue selalu menanamkan ke diri gue sendiri kalau gue gak boleh melihat orang dari luarnya aja. Toh luarnya gue juga gak ada bagus-bagusnya. Tapi dengan kejadian ini gue tambah ada pengingat kalau "Don't judge the book by it's cover".
Gak ada kalimat akhir kayak postingan sebelumnya. Sengaja postingan sebelumnya gak gue apus untuk modal mawas diri. Ampun.
Comments
Post a Comment